TIAKUR, peloporwiratama.co.id – Kelangkaan obat dan distribusi obat kedaluwarsa menjadi masalah serius yang memperburuk layanan kesehatan di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD). Komisi II DPRD MBD mengkritik keras manajemen Dinas Kesehatan yang dianggap gagal mengelola distribusi obat-obatan meski telah dialokasikan anggaran besar dari APBD.
“Kami sangat kecewa karena yang kami temukan di masyarakat bukan hanya obat yang mendekati kedaluwarsa, tapi ada obat yang memang sudah kedaluwarsa yang didistribusikan,” tegas Sekretaris Komisi II, Henrita N. Jermias dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dinas Kesehatan, Rabu (5/3).
Jermias menekankan kekecewaan mendalam terkait temuan obat kedaluwarsa yang masih beredar di fasilitas kesehatan. “Kami tegaskan jangan sampai rakyat ini dibunuh dengan uang mereka sendiri,” ujarnya dengan nada tinggi.
Fakta bahwa 10 persen dana APBD dialokasikan untuk sektor kesehatan seharusnya memberikan pelayanan maksimal. Namun kenyataannya, ketersediaan obat masih menjadi persoalan utama yang dikeluhkan masyarakat.
Masalah utama terletak pada sistem distribusi yang buruk. Obat yang dikirim dari distributor di Surabaya dan Jakarta seringkali merupakan stok lama, sehingga ketika tiba di MBD, masa kedaluwarsanya tinggal sedikit atau bahkan sudah habis.
“Mestinya manajemennya kita perbaiki. Kalau seandainya obat yang keluar dari distributor ke daerah itu adalah stok lama, maka otomatis sampai ke daerah kita itu sudah kadaluwarsa,” jelas Jermias.
Ia menawarkan solusi agar Dinas Kesehatan proaktif mengomunikasikan kebutuhan obat dengan distributor. “Bisa kita datangi, dikomunikasikan untuk obat yang kemudian disalurkan ke Maluku Barat Daya itu adalah obat yang baru diproduksi, jangan sampai itu sudah 5-6 bulan diproduksi baru dikirim ke kita.”
Kondisi geografis MBD yang terpencil dan sulitnya akses ke kecamatan memang menjadi tantangan tersendiri, tetapi hal ini justru seharusnya mendorong manajemen yang lebih baik, bukan dijadikan alasan pembenaran.
Anggota Komisi II lainnya, Roy D. Mesdila, menunjukkan bukti konkret obat kedaluwarsa yang ditemukan di Puskesmas Jerusu. “Ada Solfion methylprednisolone yang sudah kedaluwarsa sejak Februari, Ibuprofen dan Vitamin B1 yang hampir kedaluwarsa bulan April, dan Dexsa injeksi yang kedaluwarsa bulan Maret,” ungkapnya.
Kondisi pelayanan kesehatan di MBD juga diperparah dengan tidak tersedianya dokter spesialis. Jermias menyoroti mirisnya kondisi pasien yang harus dirujuk ke luar daerah. “Rakyat dengan keuangan yang minim, ketika dirujuk ke luar, mereka harus berhutang untuk biaya makan minum, biaya kesehatan. Dinas Kesehatan harus berupaya mendatangkan dokter ahli penyakit dalam, dokter bedah. Jangan mementingkan yang lain, tetapi kebutuhan dasar ini yang harus diperhatikan.”
Kepala Dinas Kesehatan, Marthen Rahakbauw, mengakui adanya kendala anggaran distribusi obat. “Tahun kemarin distribusi obat dari dana DAU dengan anggaran 80 juta sekian tidak memenuhi kebutuhan distribusi obat,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan (SDK), Eros Akse, menjelaskan bahwa status MBD sebagai peminta obat dengan jumlah kecil membuat pabrikan menempatkan mereka di prioritas bawah. “Pabrikan obat itu melayani kabupaten/kota yang permintaan besar baru melayani kita yang permintaan kecil,” katanya.
Komisi II DPRD MBD berjanji akan mendorong penambahan anggaran distribusi obat, tetapi menuntut Dinas Kesehatan memperbaiki komunikasi dengan distributor untuk memastikan obat yang dikirim adalah produksi baru dengan masa kedaluwarsa yang masih panjang.
Masalah kesehatan di MBD terus berulang selama bertahun-tahun tanpa solusi permanen. Alita A. Bakker, Koordinator Komisi II, menyebut persoalan di Dinas Kesehatan sebagai “lagu lama” yang tidak pernah diselesaikan selama lima tahun ia berada di lembaga tersebut.
Ketua Komisi II, Remon Amtu, menutup RDP dengan menegaskan bahwa persoalan kesehatan adalah masalah kemanusiaan. “RDP ini bukan untuk sama-sama mencari kesalahan, tetapi ini terpenting untuk rakyat MBD terkait soal kesehatan. Apapun persoalannya, apapun solusinya, tentu semua harus berdampak baik untuk rakyat Maluku Barat Daya,” pungkasnya. (PW.19)